Haji, Umrah, Zakat, Infaq, dan Shodaqah merupakan kegiatan ibadah umat Muslim yang memiliki potensi ekonomi sangat besar. Di Indonesia, dari aktivitas ibadah tersebut nilainya mencapai 100-an triliun rupiah. Jumlah sebesar itu seharusnya mampu menggerakan roda ekonomi berbasis syariah, yang memberi nilai tambah bagi kepentingan ibadah dan muamalah umat Muslim di Tanah air. (Baca juga : Keunggulan Ekonomi Syariah dari Konvensional)
Di Indonesia, pengembangan ekonomi berbasis syariah sudah bertahun-tahun dirintis oleh para cendekiawan muslim tanah air, namun kemajuannya saat ini masih relatif lambat termasuk soal aset yang masih minim dibanding bank konvensional. Bahkan aset perbankan syariah di Malaysia mencapai 125 milyar US dolar, jauh lebih unggul dibandingkan di Indonesia 20 milyar US dolar.
Pertumbuhan aset perbankan syariah Indonesia 4%, masih sangat kecil, dibawah Turki 7%, sedangkan Malaysia mencapai 22%. Berbekal secuil data tersebut, redaksi JUMRAH menemui Ali Masykur Musa, yang akrab dipanggil Cak Ali, mencari jawaban perihal kemajuan ekonomi syariah di Indonesia.
Berikut petikan bincang-bincangnya:
Cak Ali, kemajuan ekonomi syariah di negeri kita tampak tak bergairah. Menurut Anda, apa yang menjadi kendalanya?
Di negeri kita ini memang terjadi disparitas di kalangan umat Muslim, satu sisi masih banyak yang menyukai dan betah memakai cara-cara konvensional dalam kehidupannya sehari-hari, baik ketika berhubungan dengan pihak perbankan maupun saat bertransaksi. Sementara cara-cara yang menganut prinsip-prinsip syariah, dianggap masih belum menjadi bagian penting. Fakta yang demikian tak dapat kita abaikan. Itu menjadi sebuah tantangan bagi kita, dalam rangka mendorong ekonomi syariah masuk dalam kehidupan masyarakat dan negara. Kalau boleh saya simpulkan, terdapat tiga hal yang menjadi alasan mengapa ekonomi syariah kurang bergairah.
Pertama, menyangkut sistem perbankan syariah, dan adanya Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) yang baru sekitar 6 tahun diperkenalkan di Indonesia. Sementara di negara-negara Timur Tengah dan Malaysia, itu sudah jauh lebih dulu. Itu satu alasan mengapa sistem syariah sebagai sistem ekonomi yang harus berjalan pararel dengan ekonomi makro di negeri kita belum bisa ′berlari′ dengan kecepatan yang diharapkan.
Kedua, menyangkut endorsement, dimana dorong-an dari pemerintah, baik melalui Bank Indonesia maupun Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai regulator yang menggelola sistem keuangan kita pun baru memulai melaksanakan kebijakan terkait sistem syariah ini. OJK sendiri pun baru sekitar 3-4 tahun lalu, memiliki kewenangan sebagai lembaga yang mengatur dan mengawasi di sektor perbankan, dan industri keuangan non-bank. Jadi dari sisi regulasinya juga memang baru lahir kemarin.
Ketiga, kesadaran umat Muslim menggunakan sistem syariah untuk melakukan transaksi dalam kehidupannya itu juga belum menjadi sebuah gerakan massal. Dengan kondisi demikian itu, kita beranggapan bahwa kemampuan daya saing sistem ekonomi berbasis syariah itu, relatif masih rendah, baik perbankannya juga industri keuangan non-bank-nya, dibandingkan dengan yang konvensional. Sehingga bagi umat Muslim sendiri belum melihat nilai plus dari sistem syariah tersebut.
Upaya apa yang seharusnya kita lakukan untuk mendorongnya?
Dengan melihat ketiga aspek tadi, demi memajukan ekonomi syariah ini, yang pertama harus dilihat adalah seberapa besar potensi ekonomi dari umat Muslim di Indonesia.
Ini bisa dilihat dari dua hal, yaitu populasi umat Muslim sebesar 80% dari total jumlah penduduk di Indonesia, dan aktivitas transaksi yang mereka lakukan dalam konteks menunaikan kewajiban-nya, seperti zakat, shadaqah, infaq, dsb. Apabila semua itu dilakukan dengan memakai prinsip syariah, maka itu dapat dilihat sebagai potensi ekonomi yang besar sekali. Saya optimis, potensi pengumpulan zakat, infaq dan sodaqah itu, nilainya mencapai angka 20 triliun rupiah setiap tahunnya.
Dari riset yang dilakukan Baznas bersama IPB dan Islamic Development Bank (IDB), potensi zakat Indonesia bisa mencapai Rp 217 triliun per tahun. Baznas sendiri mentargetkan akan perolehan zakat tahun ini mencapai Rp 4,2 triliun. Jumlah itu mengalami peningkatan Rp1 triliun dibandingkan dengan penerimaan zakat tahun sebelumnya yaitu 2014 yang mencapai Rp 3,2 triliun (naik sebesar 15-35 persen).(red) Disinilah potensi ekonomi yang bisa menggerakkan roda ekonomi ditingkat grass root yang jadi kepentingan umat Islam.
Kedua, yang harus dilakukan adalah peningkatan kualitas SDM dari pengelolanya. Tentunya bisnis perbankan dan industri keuangan non bank tak bisa dilakukan secara serampangan, ia harus memahami neraca, transparan, akuntabilitasnya harus kuat, dan memiliki Laporan Realisasi Anggaran (LRA).
Apa yang menjadi keunggulannya, sehingga kita memilih produk-produk syariah dari pada dengan produk-produk konvensional? (klik selanjutnya)
Wawancara Tim JUMRAH
Baca juga:
1) Memompa Kekuatan Ekonomi Syariah di Tanah Air
2) Keunggulan Ekonomi Syariah dari Konvensional
3) Mungkinkah Mekanisme Syariah Untuk Pelaksanaan Umrah?